Tag Archives: Perencana

Jika Istrimu Seorang ‘Urban Regional Planner’

22 Mar

Dear lelaki yang akan menjadi suamiku.

Aku adalah seorang planner, mungkin kamu belum begitu tahu profesiku ini. Aku adalah seorang yang menggunakan ilmu untuk merencanakan wilayah dan kota, termasuk bagian administrasi lebih besar atau kecil lainnya. Aku adalah bagian dari engineer, ya “kerjaku” seperti engineer lainnya. Begitulah deskripsi singkat profesi ku, tapi mungkin tak begitu mudah untuk memahami “keterbiasaan” ku nanti. Jika istrimu seorang Planner maka pahamilah ini.

Aku termasuk wanita yang akan berlama-lama duduk menghadap layar laptop. Tangan kananku memang mouse dan tatapan mataku fokus pada kotak-kotak persil peta yang ku buat untuk wilayah yang akan aku rencanakan. Di meja kerjaku akan banyak kertas-kertas ukuran A3 hingga A0 yang berwarna warni menggambarkan peta analisisku tentang suatu wilayah. Maklumilah nanti jika akan begitu banyak coretan hasil analisisku atau desain rencanaku yang berjatuhan di lantai.

Aku adalah wanita yang terbiasa tidur larut malam atau jika sedang buruknya, mungkin aku tidak tidur bermalam-malam. Tidak sayang, aku bukan wanita yang tidur larut malam karena sedang menonton youtube atau menonton film korea, atau hanya untuk mengupdate sosial media. Aku adalah wanita yang sibuk mengetik di keyboard laptop membuat ratusan lembar deskripsi, analisis, hingga rencana yang menjadi “kebanggaan” ku kelak jika terealisasi. Ngantuk? tentu saja, sejak awal kuliah hingga sekarang, teman baik ku bergadang adalah kopi, kadang tidak secangkir, melainkan bercangkir-cangkir. Maksudnya tidak lain agar aku tetap terjaga, iya, itu tidak sehat bukan? karena itu aku meminta, jika istrimu seorang Planner jadilah teman baiknya untuk bergadang nanti, “jadilah” secangkir kopi yang membuatnya terjaga dan tertawa.

Aku adalah wanita yang terbiasa hidup dibawah tekanan deadline, mungkin terlihat aku tidak bisa memanajemen waktuku, karena pagi sampai malam banyak kuhabiskan untuk pekerjaan. Tapi sebenarnya justru aku ingin menghargai waktu untuk menyelesaikan tanggung jawabku, tanggung jawabku menata kota-kota itu.

Jika istrimu seorang Planner, mungkin nanti tak jarang kau lihat istrimu memegang kepalanya dengan kedua tangannya, bertumpu diatas meja, sambil kepalanya menunduk, jidatnya berkerut, lalu dia menghela nafas panjang. Mungkin dia sedikit berbicara, lalu lebih banyak diam, tak jarang dia mengucek kedua matanya dengan telapak tangannya, mengertilah.. sedang ada beban pikirannya, mungkin rencananya tidak sejalan dengan realisasinya, mungkin konsep dan penataan yang direncanakan tidak sejalan dengan pemimpin “wilayah dan kotanya” atau mungkin dia sedang berada di bawah tekanan politik –yang paling dihindari dari planner– karena akan mempengaruhi perencanaannya, perencanaan yang bukan didasarkan pada kebutuhan kotanya, melainkan kebutuhan penguasanya, bahkan perencanaan yang bisa menjadikan wilayah dan kota tersebut menjadi yang bukan semestinya.

Jika istrimu seorang Planner, jangan heran jika kau tak lihatnya di kesuksesan suatu kota. Tak pernah kau dengar namanya disebut di suatu pembicaraan, bahkan tak pernah ada media yang menceritakan bagaimana cerita di balik “kesuksesan” kota. Karena tak banyak tahu akan profesinya, mungkin yang akan ditanya orang banyak adalah siapa walikotanya? Siapa arsiteknya? Siapa tenaga sipilnya? atau siapa konsultan yang ada di balik suatu keberhasilan kota, karena tak jarang orang menganggap profesi istrimu itu tidak ada. Tidak ada yang tahu perjuangan istrimu, selain Tuhan, timnya dan kamu yang selalu tahu kerja kerasnya itu. Jika istrimu seorang Planner katakanlah “Aku tahu bagaimana kerja kerasmu” mungkin kata-kata itu bisa mengusir lelah dan letihnya selama itu.

Jika istrimu seorang planner, banggalah, karena kau baru saja menikahi sesorang yang sudah biasa hidup “susah” yang bisa hidup dengan “kesemerautan” lingkungan kerjanya. Karena dia salah satu pemecah masalah, ya, dia sudah terbisaa berhadapan dengan masalah-masalah dan dia pecahkan dengan idenya. Dia wanita yang sudah terbisaa hidup mandiri, yang bisa menempatkan diri. Dia tetap wanita yang bisa berdandan jika merasa butuh, dia tetap Ingat ibadah meski dia terlihat tidak ada waktu, dia yang masih bisa menjadi makmum dalam sholat-sholat mu, yang masih ada waktu untuk kau dan anak-anakmu karena pekerjaannya yang tidak “terikat” waktu, yang masih sempat membuatkan sarapan dan memasak untuk anak-anakmu.

Jika istri mu seorang planner, mungkin catatan kecil yang harus kau lakukan adalah, duduklah dengannya di suatu sore, bawalah secangkir kopi yang menjadi teman hidupnya selama ia bergadang dulu, lalu berbincanglah. Rencanakan masa depan bersamanya, karena dia Planner untuk kotamu dan partner Planner untuk keluargamu. Lalu peluklah dia, dan katakan “menjadi Planner itu tidak mudah, karena merencanakan itu hanyalah tugas Tuhan, kamu bisa merencanakan tapi Tuhan yang menentukan”.

– – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –

Reblogged from Mita Lestari

Majoring Urban and Regional Planning

Brawijaya University